Minggu, 23 Juni 2013


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang

Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati.
Hampir seluruh negara dibelahan dunia ini menerapkan hukum mati bagi tindak kejahatan tertentu, yang dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Mekipun banyak sekali yang menolak dengan diterapkannya pelaksanaan hukuman mati dengan embel-embel Hak Asasi Manusia, akan tetapi tetap saja hukuman mati yang tetap dilaksanakan bagi tindak pidana kejahatan yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau peraturan sesuai negara tersebut.
Hukuman mati menjadi ancaman alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun, dengan memberikan masa percobaan terhadap terpidana. Selama masa percobaan, terpidana diharapkan memperbaiki diri, jika perilaku dan sikapnya berubah, hukuman mati bisa berubah menjadi seumur hidup atau beberapa tahun di balik jeruji besi.

1.2.   Rumusan Masalah

1.2.1.      Apa yang dimaksud dengan hukuman mati ?
1.2.2.      Kejahatan apa saja yang dapat dikenakan hukuman mati ?
1.2.3.      Bagaimana tata cara penerapan hukuman mati di lingkup peradilan umum ?
1.2.4.      Bagaimana cara pelaksanaan hukuman mati di adat-adat setempat ?

1.3.Tujuan

1.3.1.      Agar para pembaca dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan hukuman mati dalam ruang lingkup hukum indonesia.
1.3.2.      Maraknya kriminalitas saat ini menimbulkan beberapa undang-undang dibuat agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dengan mengetahui apa saja tindak kejahatan yang akan dikenakan hukuman mati diharapkan para pembaca sebagai masyarakat yang  memiliki fungsi sebagai social of contol dapat mewaspadai kejahatan di lingkungan sekitar masyarakat.
1.3.3.      Selain bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca mengenai tata cara dilangsungkannya hukuman mati, hal ini juga bertujuan agar kita sebagai warga negara dapat mengetahui bahwa tata cara hukuman mati tidak semata-mata vonis di jatuhkan lalu hukuman mati berlangsung dilaksanakan, akan tetapi ada beberapa tahap yang harus dilakukan terutama mengenai hak bagi terpidana yangakan menjalani hukuman mati.
1.3.4.      Negara kita sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan adat yang berbeda sudah jelas bahwa hukum adat yang akan dipergunakanpun hukum yang berbeda pula. Dari makalah ini kita akan mengetahui bagaimana tata cara hukuman mati yang ada di beberapa adat indonesia.






BAB II

PEMBAHASAN

2.1.            Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati.
Di Indonesia yang berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918, dalam pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.
Ancaman pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash. Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Surat AI-BaQarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya sebagai berikut :
Ayat 178: "Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih."
Ayat 179 : “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa".
Oishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyah. Diyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash.
Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain-lain.

2.2.            Dalam menentukan vonis pidana mati, tidak semua jenis kejahatan dapat di vonis mati akan tetapi ada beberapa kejahatan yang bisa dijatuhkan hukuman mati antara lain :
KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan
yang berat itu adalah :
1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat
atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8. Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi
pelanggarnya.
Peraturan-peraturan itu antara lain:
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman
terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang
pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api,
amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan
kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang
ketentuan pokok tenaga atom.
6. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
7. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

2.3.            Menurut KUHP pasal 11 tata cara melaksanakan pidana mati adalah, “pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.
Tidak ada aturan pelaksanaan hukuman mati tersebut secara terperinci. Akan tetapi dalam pelaksanaanya dalam peradilan umum yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 tahun 1969.

2.3.1.      Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer

[UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang
ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969]
Mengingat : 1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan
Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;
2. Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 Tahun 1963.




BAB I
UMUM
Pasal 1
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan
putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan
dalam pasal-pasal berikut.
BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM
Pasal 2
(1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum
pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
(2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan
secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak
memungkinkan pelaksanaan demikian itu.
Pasal 3
(1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar
nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan pidana mati.
(2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah
lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.
Pasal 4
Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya.
Pasal 5
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
Pasal 6
(1) Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.
(2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.
Pasal 7
Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
Pasal 8
Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
Pasal 9
Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
Pasal 10
(1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya.
(3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
Pasal 11
(1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
(2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.
Pasal 12
(1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
(2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
Pasal 13
(1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
Pasal 14
(1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
(3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya.
(5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.
Pasal 15
(1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh
keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan
mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh
terpidana.
Pasal 16
(1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan pidana mati.
(2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER
Pasal 17
Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa:
a. kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan yang bersangkutan”;
b. kata-kata “Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan Daerah Militer”;
c. kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;
d. kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”;
e. Pasal 3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau Komandan dari Angkatan yang bersangkutan”.
f. Pasal 11 ayat (3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP
Pasal 18
Pidana mati yang dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 19
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964.

2.4.            Hukuman mati yang ditetapkan oleh undang-undang di Indonesia juga sudah dikenal terlebih dahulu oleh berbagai suku di Indonesia. Akan tetapi tata cara pelaksanaan dan penyebab yang dijatuhkan pada orang yang dinyatakan telah bersalah berbeda. Seperti di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana
mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang
melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk. Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati.
Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain. Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia.



Kesimpulan



LUSI
NABILAH
IWAN
MAULANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar