BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kejahatan-kejahatan
yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua
komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia
yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati.
Hampir seluruh negara dibelahan
dunia ini menerapkan hukum mati bagi tindak kejahatan tertentu, yang
dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Mekipun banyak
sekali yang menolak dengan diterapkannya pelaksanaan hukuman mati dengan
embel-embel Hak Asasi Manusia, akan tetapi tetap saja hukuman mati yang tetap
dilaksanakan bagi tindak pidana kejahatan yang telah ditetapkan oleh
undang-undang atau peraturan sesuai negara tersebut.
Hukuman mati menjadi ancaman alternatif dengan
jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun, dengan
memberikan masa percobaan terhadap terpidana. Selama masa percobaan, terpidana
diharapkan memperbaiki diri, jika perilaku dan sikapnya berubah, hukuman mati
bisa berubah menjadi seumur hidup atau beberapa tahun di balik jeruji besi.
1.2.
Rumusan Masalah
1.2.1.
Apa yang dimaksud
dengan hukuman mati ?
1.2.2.
Kejahatan apa saja
yang dapat dikenakan hukuman mati ?
1.2.3.
Bagaimana tata cara
penerapan hukuman mati di lingkup peradilan umum ?
1.2.4.
Bagaimana cara pelaksanaan
hukuman mati di adat-adat setempat ?
1.3.Tujuan
1.3.1.
Agar para pembaca
dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan hukuman mati dalam ruang lingkup
hukum indonesia.
1.3.2.
Maraknya
kriminalitas saat ini menimbulkan beberapa undang-undang dibuat agar menimbulkan
efek jera bagi pelakunya, dengan mengetahui apa saja tindak kejahatan yang akan
dikenakan hukuman mati diharapkan para pembaca sebagai masyarakat yang memiliki fungsi sebagai social of contol
dapat mewaspadai kejahatan di lingkungan sekitar masyarakat.
1.3.3.
Selain bertujuan
untuk menambah wawasan para pembaca mengenai tata cara dilangsungkannya hukuman
mati, hal ini juga bertujuan agar kita sebagai warga negara dapat mengetahui
bahwa tata cara hukuman mati tidak semata-mata vonis di jatuhkan lalu hukuman
mati berlangsung dilaksanakan, akan tetapi ada beberapa tahap yang harus
dilakukan terutama mengenai hak bagi terpidana yangakan menjalani hukuman mati.
1.3.4.
Negara kita sebagai
bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan adat yang berbeda sudah jelas
bahwa hukum adat yang akan dipergunakanpun hukum yang berbeda pula. Dari
makalah ini kita akan mengetahui bagaimana tata cara hukuman mati yang ada di
beberapa adat indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Hukuman mati ialah
suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan
atas seseorang akibat perbuatannya.
Pidana mati sebagai salah satu jenis
pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan
di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk
mendukung dan menentang pidana mati.
Di Indonesia
yang berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918, dalam pasal
10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda
sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak
diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya
penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.
Ancaman pidana mati juga dikenal dalam
hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash. Pandangan Islam terhadap pidana
mati tercantum dalam Surat AI-BaQarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya
sebagai berikut :
Ayat 178: "Hai orang- orang yang
beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan
Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar
sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih."
Ayat 179 : “ Dalam hukum Qishash itu ada
(jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa".
Oishash dalam hukum Islam adalah hukuman
bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan
pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini
dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang
membunuh dengan membayar suatu diyah. Diyah adalah hukuman denda yang disetujui
oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang
terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash.
Pidana mati sudah dikenal oleh hampir
semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan
pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan
keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya
dengan alu dan lain-lain.
2.2.
Dalam
menentukan vonis pidana mati, tidak semua jenis kejahatan dapat di vonis mati
akan tetapi ada beberapa kejahatan yang bisa dijatuhkan hukuman mati antara
lain :
KUHP
Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa
kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan
yang
berat itu adalah :
1.
Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2.
Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan
itu dilakukan atau jadi perang)
3.
Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4.
Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
direncanakan dan berakibat maut)
5.
Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6.
Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat
atau
mati)
7.
Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati)
8.
Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa
peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi
pelanggarnya.
Peraturan-peraturan
itu antara lain:
1.
Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa
Agung/Jaksa
Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman
terhadap
tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang
pangan.
2.
Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman
hukuman
terhadap tindak pidana ekonomi.
3.
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api,
amunisi
atau sesuatu bahan peledak.
4.
Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan
kegiatan
subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang
ketentuan
pokok tenaga atom.
6.
Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
7.
Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana/prasarana penerbangan.
2.3.
Menurut
KUHP pasal 11 tata cara melaksanakan pidana mati adalah, “pidana mati
dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang
terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan
tempat terpidana berdiri”.
Tidak ada aturan pelaksanaan hukuman
mati tersebut secara terperinci. Akan tetapi dalam pelaksanaanya dalam
peradilan umum yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 tahun 1969.
2.3.1.
Tata
Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan Di
Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer
[UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor
2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang
ditetapkan menjadi undang-undang dengan
UU No 5 Tahun 1969]
Mengingat : 1. Pasal IV Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan
Pasal 10 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;
2. Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4
Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 226 Tahun 1963.
BAB I
UMUM
Pasal 1
Dengan tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan
putusan
pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di
lingkungan
peradilan umum
atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut
ketentuanketentuan
dalam
pasal-pasal berikut.
BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA
MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM
Pasal 2
(1) Jika tidak
ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah
hukum
pengadilan yang
menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
(2) Pidana mati
yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan
secara serempak
pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak
memungkinkan
pelaksanaan demikian itu.
Pasal 3
(1) Kepala
Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah
mendengar
nasehat Jaksa
Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan
pidana mati.
(2) Jika dalam
penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat
Daerah
lain, maka
Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala
Polisi Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala Polisi
Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban
sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat
yang diperlukan untuk itu.
Pasal 4
Kepala Polisi
Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk
olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa
Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya.
Pasal 5
Menunggu
pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain
yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
Pasal 6
(1) Tiga kali
duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa
tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana
tersebut.
(2) Apabila
terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu
diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.
Pasal 7
Apabila
terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat
puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
Pasal 8
Pembela
terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat
menghadiri pelaksanaan pidana mati.
Pasal 9
Pidana mati
dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan
lain oleh Presiden.
Pasal 10
(1) Kepala
Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri
dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk
pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya.
(3) Regu
Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut
dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
Pasal 11
(1) Terpidana
dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
(2) Jika
diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana
berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di
tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan
sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.
Pasal 12
(1) Terpidana
dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
(2) Jika
dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan
supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran
yang khusus dibuat untuk itu.
Pasal 13
(1) Setelah
terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke
tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak antara
titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10
meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
Pasal 14
(1) Apabila
semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaannya,
memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan
segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
(3) Dengan
menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya
bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan
Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya
ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila
setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia
belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu
Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras
senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya.
(5) Untuk
memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang
dokter.
Pasal 15
(1) Penguburan
diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan
umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal
terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh
keluarganya atau
sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan
mengindahkan
cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh
terpidana.
Pasal 16
(1) Jaksa
Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada
pelaksanaan pidana mati.
(2) Isi dari
pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah
mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara
harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita
acara telah disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan
tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA
MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER
Pasal 17
Tata cara
pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
militer dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan
ketentuan bahwa:
a. kata-kata
“Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima
Angkatan yang bersangkutan”;
b. kata-kata
“Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan Daerah
Militer”;
c. kata-kata
“Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;
d. kata-kata
“Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1)
harus dibaca “militer”;
e. Pasal 3 ayat
(2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang
Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain,
maka Panglima atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang
menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau
Komandan dari Angkatan yang bersangkutan”.
f. Pasal 11 ayat
(3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas
harian tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP
Pasal 18
Pidana mati yang
dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus dilaksanakan,
diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 19
Undang-undang
ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Diundangkan di
Jakarta pada tanggal 27 April 1964.
2.4.
Hukuman
mati yang ditetapkan oleh undang-undang di Indonesia juga sudah dikenal
terlebih dahulu oleh berbagai suku di Indonesia. Akan tetapi tata cara
pelaksanaan dan penyebab yang dijatuhkan pada orang yang dinyatakan telah bersalah
berbeda. Seperti di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika
pembunuh tidak membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan
untuk pidana
mati, maka pidana mati segera
dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang
melanggar perintah perkawinan yang
eksogami. Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk. Ketemanggungan
dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya.
Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk
asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap
kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi
pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang
bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan
pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat
pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Sulawesi Tengah
seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang
pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di
Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat
membayar denda ia dipidana mati.
Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri
dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki
tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam
tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban,
maka pidana mati diterapkan. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan
atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana
mati. Sedangkan di lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan
pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu
dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri
orang lain. Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku
bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang.
Jadi bukan bangsa Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu
pada bangsa Indonesia.
Kesimpulan
LUSI
NABILAH
IWAN
MAULANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar